GUC0BSM9TUAoTpYlGSW8TSW=

Berdzikir Kok Tidak Berjamaah?

Berdzikir Kok Tidak Berjamaah?

 

“Berdzikir Kok Tidak Berjamaah?”

    Sebelas tahun yang lalu di sebuah pesantren Kota Padang, ketika kami menempuh pendidikan ada kebiasaan yang unik menurut kami, yaitu berzikir secara berjamaah kusus setelah shalat magrib dan isya. Tapi pada shalat Subuh, Zuhur, Ashar berdzikirnya sendiri-sendiri. Hingga suatu saat seorang Ustadz pimpinan menjelaskan dzikir berjamaah magrib dan isya ini hanya untuk latihan sampai semua santri hafal. Setelah itu silakan berdzikir sendiri-sendiri, bahkan tiga waktu shalat lainnya saat ini kita sudah berzikir sendiri-sendiri.

    Tiga tahun kemudian di sebuah sekolah IT (Islam Terpadu) yang kami kunjungi, kami menemukan kembali kebiasaan dzikir berjamaah di setiap waktu shalat yang mereka kerjakan (zuhur dan ashar, karena mereka pulang sore). Maka kami melakukan perbincangan dengan beberapa orang siswa, mereka menyampaikan bahwa berdzikir berjamaah adalah sunnah atau anjuran.
Karena ketidak puasan akan jawaban tersebut, kami pergi menemui salah seorang guru disana yang hasil dari pertemuan tesebut, sang guru mengatakan bahwa dzikir berjamaah disini hanya untuk mendidik siswa agar hafal zikir, sebatas itu saja. Disini kami menemukan kesenjangan pemahaman antara tujuan guru dengan yang ditangkap oleh siswa, hal ini mungkin terjadi karena guru tidak pernah menjelaskan tujuan sebenarnya dzikir berjamaah dilakukan oleh sekolah tersebut, sehingga para murid menyimpulkan inilah suatu sunnah.

    Beberapa tahun kemudian saat kami pergi ke pulau Jawa lebih kusus Jawa Timur, kami menemukan kebiasaan itu ada dimana-mana, saat ditanyakan mereka membawakkan beberapa hujjah atas kebiasaan berdzikir berjamaah. Puncak faktor kami menulis tulisan ini ketika kami menempuh pendidikan di suatu kampus agama, lalu ada orang-orang yang mengatakan kami berbeda saat imam shalat, karena kami tidak berdzikir dan berdoa secara berjama’ah dan berbagai narasi negatif lainnya, padahal perkataan-perkataan seperti itu tidak layak dilontarkan serang mahasiswa disebuah kampus agama yang mendalami agama.

A.    Latar Belakang

    Tulisan ini ditulis untuk menjelaskan alasan dan hujjah kami, kenapa memilih berdzikir secara sirr (bukan berjamaah), sehingga terbukalah pemikirin teman-teman yang masih kaku akan perbedaan tersebut. Kami menyadari akan keterbatasan ilmu dan pemahaman kami, sehingga kami akan berfokus kepada memberikan hujjah atas yang kami amalkan.

B.     Alasan Yang Berdzikir Berjamaah

    Teman-teman yang berdzikir secara berjamaah, umumnya berdalil dengan keumuman firman Allah dan hadits Rasul terkait orang-arang yang berdzikir. Dan ada satu hadits yang sering dijadikan dalil yaitu hadits dalam shahih Bukhari dan Muslim.

ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhuma mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan suara dalam berzikir setelah orang selesai menunaikah salat fardlu terjadi di zaman Nabi . Ibnu 'Abbas mengatakan, "Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari salat itu karena aku mendengarnya.”

    Kalau kita perhatikan sebenarnya hadits ini tidak menjelaskan sama sekali terkait dzikir berjamaah, tetapi hanya terkait mengeraskan bacaan dzikir, apalagi jika dibaca Syarah Bukhari oleh Imam Ibnu Hajar dan Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi maka akan tampak jelaslah maksud hadits ini tidak sejalan dengan dzikir berjamaah.

C.    Alasan Kenapa Tidak Berdzikir Berjamaah

    Kami akan mengemukakan beberapa alasan yang kami pahami dan yakini terkait kenapa berdzikir lebih utama sirr (suara tidak keras) daripada secara berjamaah.

1.      Berdzikir ba’da (setelah) shalat, merupakan satu rangkaian ibadah dengan shalat itu sendiri. 

    sehingga harus ada dalil kusus yang shahih menjelaskan tuntunannya, sehingga dalil umum tidak bisa dijadikan pengkususan amal kecuali ada dalil lain yang mentaqsisnya. Karena tidak terdapat dalil kusus terkait anjuran berdzikir berjamaah, ini menunjukkan zikir itu dianjurkan sendiri-sendiri.

 2.      Para ulama Madzhab, terkusus lagi Madzhab Syafi’i tidak menganjurkan dzikir dengan suara keras, apalagi berjama’ah, karena mereka berpendapat zikir itu dengan suara pelan.

Imam Syafi’i rahimahullam berkata dalam Kitab Al UMM :

“Saya menganjurkan agar imam dan makmum agar keduanya berdzikir kepada Allah sesudah keluar dari shalat dengan memelankan dzikir, kecuali seorang imam yang bacaannya wajib dipelajari oleh jamaah sehingga imam harus mengeraskan bacaannya hingga dia melihat bahwa bacaannya telah dipelajari, lalu sesudah itu dia memelankan suaranya.” (Al-Umm – Imam Syafi’i)[1]

Imam Nawawi rahimahullah ketika mensyarah hadits Shahih Muslim diatas yang dijadikan hujjah oleh yang berdzikir berjamaah, berikut haditsnya :


 ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
“Ibnu 'Abbas radhiallahu'anhuma mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan suara dalam berzikir setelah orang selesai menunaikah salat fardlu terjadi di zaman Nabi . Ibnu 'Abbas mengatakan, "Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari salat itu karena aku mendengarnya.”
Imam Nawawi rahimahullan berkata :
 
“Ibnu Baththal dan ulama yang lainnya menukil bahwasanya para imam madzhab yang dipanuti dan selain mereka bersepakat tentang tidak dianjurkannya mengeraskan suara dengan dzikir dan takbir. Asy-Syafi'i Rahimahullah mengalihkan hadits tersebut, yaitu bahwasanya beliau mengeraskan suara hanya sebentar untuk mengajarkan tata cara berdzikir kepada mereka; dan mereka tidak mengeraskan terus-menerus.
Dia (Ibnu Baththal) berkata, Maka dia (Asy-Syafi'i) lebih memilih bagi imam dan makmum untuk berdzikir Kepada Allah setelah selesai shalat sambil memelankannya. Kecuali jika seorang imam ingin mengajarkan dzikir, maka dia boleh mengeraskan hingga dia mengetahui bahwa mereka telah mempelajarinya, lalu memelankan.” (Syarah Shahih Muslim – Imam Nawawi)[2]
 
Kami melihat Para ulama Madzhab terkusus lagi Madzab Syafi’i, tidak menganjurkan untuk berdzikir keras dan mereka menganjurkan zikit dengan pelan kecuali untuk mengajarkan orang cara berdzikir. Rasanya untuk kalangan masyarakat sekarang apalagi Mahasiswa atau mahasantri jurusan agama sudah bisa semua berdzikir, sehingga tidak ada alasan untuk mengeraskan bacaan dzikir secara berjama’ah.

 

3.      Berdzikir berjama’ah bisa menganggu dan merusak konsentrasi bacaan orang yang masbuk.

Rasulullah melarang orang mengeraskan bacaan Al-Qur’an ketika ada orang lain yang ingin beribadah.


اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al-Qur’an) mereka. Kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya kalian sedang berdialog dengan Rabb kalian. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca Al-Qur’an”

 (HR. Abu Dawud : 1332, Dishahihkan Syaikh Al Albani)
 
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan :

Membaca Al-Qur’an lebih afdhal jika dibandingkan dengan lafal tasbih, tahlil, serta lafal dzikir lainnya. Ini pendapat yang dipilih dan diyakini sebagian ulama, banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut,” (At-Tibyan – Imam Nawawi)[3]
 
    Kami pribadi ketika masbuk, serting kesulitan membaca Al-Fatihah karena terganggu kosentrasi oleh bacaan dzikir berjamaah apalagi menggunakan mik. Sehingga harus lebih mengeraskan bacaan dan mengulang-ngulang ayat yang terganggu.

    Jika Membaca Al-Qur’an saja yang lebih utama dibandingkan dzikir, Rasulullah tegur karena menggangu orang melakukan amalan sunnah, lalu bagaimana jika itu dzikir yang posisinya dibawah keutamaan baca Al-Qur’an menganggu kosentrasi bacaan orang yang Masbuk Shalat Wajib?

D.    Kesimpulan

    Dari alasan diatas kami melihat berdzikir dengan pelan lebih lebih utama karena begitulah pendapat ulama-ulama madzhab terkususnya Madzhab Syafi’i yang kami temukan, dan juga tidak mengganggu ibadah orang lain yang masbuk.

Dalam kaidah Fiqh disebutkan :

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah kemaslahatan.”

    Sehingga menghilangkan gangguan terhadap orang yang shalat wajib masbuk, lebih utama daripada berdzikir dengan berjama’ah, yang dzikir sendiri sifatnya sunnah.

Wallahu a’lam

Ditulis oleh : Raihan Mahasiswa S1 Ushul Fiqh, Ma’had Aly Sumatera Thawalib Parabek

7 Safar 1445 H

Kamis, 24 Agustus 2023.

 

 



[1] Syafi'i, Imam. 2014. Al-Umm. Jakarta : Pustaka Azzam, 2014. ISBN.

[2] Nawawi, Imam. 2014. Syarah Shahih Muslim Jilid 3. Jakarta : Darus Sunnah, 2014. ISBN.

[3] Nawawi, Imam. 2014. At-Tibyan. Solo : Al Qowam, 2014. ISBN.


0 Komentar