“Berdzikir Kok Tidak Berjamaah?”
Sebelas tahun yang lalu di sebuah pesantren Kota Padang, ketika kami menempuh pendidikan ada kebiasaan yang unik menurut kami, yaitu berzikir secara berjamaah kusus setelah shalat magrib dan isya. Tapi pada shalat Subuh, Zuhur, Ashar berdzikirnya sendiri-sendiri. Hingga suatu saat seorang Ustadz pimpinan menjelaskan dzikir berjamaah magrib dan isya ini hanya untuk latihan sampai semua santri hafal. Setelah itu silakan berdzikir sendiri-sendiri, bahkan tiga waktu shalat lainnya saat ini kita sudah berzikir sendiri-sendiri.
Beberapa tahun kemudian saat kami pergi ke pulau Jawa lebih kusus Jawa Timur, kami menemukan kebiasaan itu ada dimana-mana, saat ditanyakan mereka membawakkan beberapa hujjah atas kebiasaan berdzikir berjamaah. Puncak faktor kami menulis tulisan ini ketika kami menempuh pendidikan di suatu kampus agama, lalu ada orang-orang yang mengatakan kami berbeda saat imam shalat, karena kami tidak berdzikir dan berdoa secara berjama’ah dan berbagai narasi negatif lainnya, padahal perkataan-perkataan seperti itu tidak layak dilontarkan serang mahasiswa disebuah kampus agama yang mendalami agama.
A.
Latar
Belakang
Tulisan ini ditulis untuk menjelaskan alasan dan hujjah kami, kenapa memilih berdzikir secara sirr (bukan berjamaah), sehingga terbukalah pemikirin teman-teman yang masih kaku akan perbedaan tersebut. Kami menyadari akan keterbatasan ilmu dan pemahaman kami, sehingga kami akan berfokus kepada memberikan hujjah atas yang kami amalkan.
B.
Alasan Yang
Berdzikir Berjamaah
Teman-teman yang berdzikir secara berjamaah, umumnya berdalil dengan keumuman firman Allah dan hadits Rasul terkait orang-arang yang berdzikir. Dan ada satu hadits yang sering dijadikan dalil yaitu hadits dalam shahih Bukhari dan Muslim.
C.
Alasan Kenapa
Tidak Berdzikir Berjamaah
Kami akan mengemukakan beberapa alasan yang kami pahami dan yakini terkait kenapa berdzikir lebih utama sirr (suara tidak keras) daripada secara berjamaah.
1. Berdzikir ba’da (setelah) shalat, merupakan satu rangkaian ibadah dengan shalat itu sendiri.
sehingga harus ada dalil kusus yang shahih menjelaskan tuntunannya,
sehingga dalil umum tidak bisa dijadikan pengkususan amal kecuali ada dalil
lain yang mentaqsisnya. Karena tidak terdapat dalil kusus terkait anjuran berdzikir
berjamaah, ini menunjukkan zikir itu dianjurkan sendiri-sendiri.
2.
Para ulama Madzhab,
terkusus lagi Madzhab Syafi’i tidak menganjurkan dzikir dengan suara keras,
apalagi berjama’ah, karena mereka berpendapat zikir itu dengan suara pelan.
Imam Syafi’i rahimahullam berkata
dalam Kitab Al UMM :
“Saya
menganjurkan agar imam dan makmum agar keduanya berdzikir kepada Allah sesudah
keluar dari shalat dengan memelankan dzikir, kecuali seorang imam yang
bacaannya wajib dipelajari oleh jamaah sehingga imam harus mengeraskan
bacaannya hingga dia melihat bahwa bacaannya telah dipelajari, lalu sesudah
itu dia memelankan suaranya.” (Al-Umm – Imam Syafi’i)[1]
Imam Nawawi rahimahullah ketika mensyarah hadits Shahih Muslim diatas yang dijadikan hujjah oleh yang berdzikir berjamaah, berikut haditsnya :
3. Berdzikir berjama’ah bisa menganggu dan merusak konsentrasi bacaan orang yang masbuk.
Rasulullah melarang orang mengeraskan bacaan Al-Qur’an ketika ada orang lain yang ingin beribadah.
اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di masjid, lalu beliau mendengar mereka (para sahabat) mengeraskan bacaan (Al-Qur’an) mereka. Kemudian beliau membuka tirai sambil bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya kalian sedang berdialog dengan Rabb kalian. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian yang lain, dan jangan pula sebagian yang satu mengeraskan terhadap sebagian yang lain di dalam membaca Al-Qur’an”
Jika Membaca Al-Qur’an saja yang
lebih utama dibandingkan dzikir, Rasulullah tegur karena menggangu orang melakukan
amalan sunnah, lalu bagaimana jika itu dzikir yang posisinya dibawah
keutamaan baca Al-Qur’an menganggu kosentrasi bacaan orang yang Masbuk Shalat
Wajib?
D. Kesimpulan
Dari alasan diatas kami melihat berdzikir dengan pelan lebih lebih utama karena begitulah pendapat ulama-ulama madzhab terkususnya Madzhab Syafi’i yang kami temukan, dan juga tidak mengganggu ibadah orang lain yang masbuk.
Dalam kaidah Fiqh disebutkan :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah kemaslahatan.”
Sehingga menghilangkan gangguan terhadap orang yang shalat wajib masbuk, lebih utama daripada berdzikir dengan berjama’ah, yang dzikir sendiri sifatnya sunnah.
Wallahu a’lam
Ditulis oleh : Raihan Mahasiswa S1 Ushul Fiqh, Ma’had Aly Sumatera Thawalib Parabek
7 Safar 1445 H
Kamis, 24 Agustus 2023.
[1] Syafi'i, Imam. 2014. Al-Umm. Jakarta : Pustaka Azzam, 2014. ISBN.
[2] Nawawi, Imam. 2014. Syarah Shahih Muslim Jilid 3. Jakarta :
Darus Sunnah, 2014. ISBN.
[3] Nawawi,
Imam. 2014. At-Tibyan. Solo : Al Qowam, 2014. ISBN.
0 Komentar